Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Nergara Berkembang Kementerian Luar Negeri Penny Dewi Herasati mengatakan Indonesia harus bisa memanfaatkan konvensi Intangible Cultural Heritage (ICH) 2003 untuk mendukung diplomasi budaya dengan negara-negara lain.
“Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya tentu harus dapat memanfaatkan Konvensi ICH 2003 untuk mendukung pemajuan kebudayaan dan memperluas potensi kerja sama budaya yang besar,” kata Penny dalam “Bincang Santai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia Menuju ICH” pada Kamis, 8 Desember 2022.
Penny menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki peran penting dalam diplomasi Indonesia.
Hal tersebut menurutnya, ditegaskan dalam Konvensi UNESCO pada 2003 mengenai Perlindungan Warisan Budaya Takbenda.
Konvensi tersebut memandang warisan budaya takbenda sebagai warisan hidup (living heritage) yang mampu menjadi kekuatan pendorong bagi dialog antarbudaya sebagai pendekatan alternatif dalam mewujudkan tantangan global seperti pembangunan berkelanjutan.
Lebih lanjut, Ia menambahkan bahwa Konvensi Perlindungan terhadap WBTb UNESCO mendorong kerja sama internasional dalam pelindungan warisan budaya, salah satunya melalui pengusulan nominasi ICH.
Konvensi ICH sendiri memiliki tujuan antara lain mewariskan budaya tak benda, memastikan masyarakat kelompok dan individu yang bersangkutan menjunjung tinggi warisan budaya tak benda, serta meningkatkan kesadaran di tingkat lokal, nasional, dan internasional tentang pentingnya warisan budaya tak benda dan untuk menumbuhkan rasa saling menghargai.
“Secara umum Konvensi UNESCO memiliki semangat dan prinsip yang mengedepankan kerja sama dan mutual respect antar-negara,” ujar Penny.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Irini Dewi Wanti menjelaskan 1.728 WBTb yang sudah ditetapkan pemerintah Indonesia memiliki hak yang sama untuk diusulkan sebagai ICH Unesco.
Hanya saja, hingga 2021 baru 12 WBTb yang ditetapkan oleh UNESCO.
Oleh karena itu, jika Indonesia hanya mengajukan WBTb secara single nomination, maka dibutuhkan waktu yang lebih panjang agar WBTb nasional itu masuk ke UNESCO lantaran satu elemen budaya akan diproses selama dua tahun.
“Siklus untuk penetapan warisan budaya tak benda di dalam komite ICH Unesco ini ditetapkan dua tahun sekali untuk penetapan single nomination bagi negara-negara,” Ucap Irini.
Oleh sebab itu, Irini mengatakan salah satu strategi yang perlu dilakukan Indonesia menurut Irini adalah melakukan joint nomination terhadap WBTb yang mirip atau beririsan dengan negara lain agar tak membutuhkan waktu yang lama.
“Dengan negara siapapun, dengan negara manapun.
Kebijakan untuk multinasional itu bisa setiap tahun (pengajuan ke UNESCO) berapa pun jumlahnya dengan negara manapun,” kata Irini.
Strategi lainnya yang juga bisa dilakukan dengan menyeleksi serta menganalisis seberapa besar komitmen komunitas dan para pendukung dalam mengajukan WBTb Indonesia mendapat pengakuan ICH Unesco, melakukan sosialisasi ICH Unesco, dan melakukan konsolidasi kepada semua pemangku kepentingan.
Zahrani Jati Hidayah